Peristiwa ini terjadi pada tahun 1965 di Ujungberung, Bandung.Sekeliling belakang rumahku di benteng dengan batako. Di sudut belakang rumah yang berbatasan dengan tanah mang Edeng, tumbuh pohon roay (kacang kapri) yang sedang berbuah. Aku suka memetik yang sudah kering dan bijinya di goreng. Jika aku memetik roay, biasanya dibawah menunggu Nyai (Adik perempuanku), Deni dan Eti (Saudaraku dari Uwak Udi). Aku memanjat benteng, dan tidak disadari bahwa benteng yang kupijak telah retak dikiri dan kanan. Ketika aku turun, kupegang ujung atas benteng dan kaki menahan badan benteng, lalu tiba-tiba …brrruuug, ujung atas benteng yang runcing menimpa kaki kiriku. Diantara reruntuhan tembok, setengah sadar aku mendengar Ade (Kakakku) menjerit histeris melihat tulang kakiku patah dan keluar menembus daging. Tiba-tiba secepat kilat aku digendong Ema dibawa kerumah. Banyak orang yang menonton, tetapi yang turut menolong saat itu adalah Mang Kede (Kidal) yang tinggal di Sukup (Tukang nyangkul di sawah seberang jalan). Ema segera membawaku ke Rumah Sakit Ujungberung dengan naik beca.
Kakiku mulai terasa sakit ketika tiba di rumah sakit, dan ternyata aku harus dibawa ke Rumah Sakit Rancabadak (sekarang RSUP Hasan Sadikin) di Bandung. Dengan menggunakan mobil Jip Kopem (Pemberantasan Malaria) warna hijau milik Pak Nunuh, aku dibawa ke RSUP Hasan Sadikin. Saat kejadian, Apa sedang dinas. Aku dibaringkan di ruang gawat darurat. Menurut Dokter, aku harus dioperasi, dan akan segera dioperasi malam harinya. Menjelang sore Apa datang ke Rumah Sakit. Apa menghampiriku dengan membawa makanan (Roti dan Kue Apem) dan langsung aku disuapi, padahal menurut Dokter aku harus puasa karena akan dioperasi. Selama penantian operasi aku tertidur. Musibah yang menimpaku terjadi pada tahun 1965 bersamaan dengan peristiwa pemberontakan PKI dan Meletusnya gudang amunisi TNI di Bojong Koneng. Waku itu Ema harus menyusui Ojat (Adikku yang bungsu). Selama mengurusku di Rumah Sakit, terpaksa Ojat sementara dititipkan ke Ibu O’oh Mang Iyas. Operasi kakiku berjalan sukses, dan aku ditempatkan di Bangsal 3 kamar I. Satu kamar ada 4 orang pasien, yang tiga orang adalah pasien korban peristiwa Bojongkoneng meletus. Bojong koneng adalah tempat penyimpanan amunisi militer (peluru, bom, bahan peledak) yang terletak di dekat Taman Makam Pahlawan Cikutra. Untuk pasen Bojongkoneng ada tambahan makanan berupa susu, roti, dan bubur kacang hijau, karena satu kamar dengan mereka petugas menganggapku pasien korban Bojongkoneng, dan aku selalu mendapat jatah makanan korban Bojongkoneng.
Yang menemaniku di rumah sakit bergantian, kalau pagi Ema atau A Acep, dan menjelang sore diganti oleh Apa sepulang dari Dinas. Apa berangkat Dinas dari rumah sakit. Sebagai seorang polisi Apa selalu membawa pistol, dan jika menginap di rumah sakit pistolnya selalu disimpan dibawah kasur yang kutiduri tanpa sepengetahuanku, pernah sekali terjadi sewaktu berangkat dinas Apa lupa membawa pistolnya, dan ketika petugas rumah sakit mengganti sprei dan membalik kasur ditemukan pistol Apa. Pistol diamankan rumah sakit, dan tak lama kemudian Apa datang kembali untuk mengambil pistolnya.
Tiga bulan aku dirawat di rumah sakit dan yang paling sering menemaniku adalah Ade (kakakku) yang suka membawaku berkeliling lorong rumah sakit dengan menggunakan kursi roda. Selama tiga bulan aku tidak masuk sekolah, dan ketika Ibu Guru Elly menengok kusampaikan, aku takut tidak naik ke kelas V, Ibu Guru Elly hanya tersenyum. Setelah patah kaki, aku tidak berani lagi bermain sepak bola. Aku bersyukur bahwa kakiku utuh kembali, tidak seperti yang dikuatirkan Ema dan Apa. Waktu itu Ema dan Apa sedih dan takut kakiku tidak dapat disembuhkan.
JATUH DARI POHON MANGGASetelah kakiku sembuh, aku mulai masuk sekolah lagi, teman-teman menyambutku dan berkerumun disekelilingku, ingin mendengar pengalaman selama di rumah sakit. Selang beberapa lama, pohon mangga di depan rumahku berbuah lebat, aku mengajak temanku kerumah. Untuk menjamu teman aku naik pohon mangga untuk memetik beberapa butir, temanku menunggu dibawah, tak disangka aku menginjak ranting pohon kering dan selanjutnya …kraaakk.. gedebug…aku melayang jatuh, kepalaku kena pecahan genteng dan berdarah. Sampai sekarang bekas luka di kepala masih ada (pitak). Kecelakaan lainnya adalah ketika aku dibonceng naik sepeda oleh Jang Odeng (Anak Mang Jaja Domba). Waktu itu sepulang dari nonton bola di Campurit (Asrama Zeni Para, TNI-AD), aku dibonceng didepan, rupanya kaki kiriku kepleset dan… berrrrr …masuk jari-jari ban depan, kakiku berdarah lagi. Kembali aku dimarahi Ema. Itulah beberapa kejadian yang pernah kualami, dan semuanya sangat merepotkan Ema dan Apa, sebab tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk rumah sakit dan obat. Gaji Apa sebagai seorang Polisi tidak cukup untuk membiayai kebutuhan keluarga, walaupun demikian aku bangga kepada Ema dan Apa yang telah membesarkan semua putra putrinya. Sampai sekarang aku merasa belum membalasnya. Walaupun Ema dan Apa tidak mengharapkan, tapi itu adalah sebuah kewajiban seorang anak terhadap orangtuanya.